Ulos bukan sekadar kain tenun

Pelesiran ke Danau Toba di Sumatera Utara, jangan lupa mampir ke Pulau Samosir. Di sini Anda bisa berburu suvenir khas nuansa Batak dengan harga miring dan berkualitas, sekaligus menjajal warisan budaya Batak yaitu ulos.

Ulos merupakan mahakarya Indonesia yang berasal dari salah satu peradaban tertua di Asia sejak 4.000 tahun lalu, yaitu kebudayaan Batak. Ulos bahkan telah ada jauh sebelum bangsa Eropa mengenal tekstil.

Di Batak, khususnya kawasan Danau Toba, ulos merupakan simbol adat yang dinilai sakral dan tradisinya masih lestari. Ulos sangat penting digunakan oleh orang Batak untuk upacara adat, pernikahan hingga kematian.

Namun, meski ulos telah ditetapkan sebagai warisan kebudayaan tak benda nasional sejak tanggal 17 Oktober 2014 dan sedang gencar dijadikan warisan budaya dunia melalui UNESCO, tak banyak yang tahu filosofi sebenarnya dari ulos.

Selain nilai estetika, pada sehelai ulos juga sarat nilai seni, sejarah, religi, dan budaya. Tiap motif, pilihan warna, jenis, hingga cara pemakaian dan pemberian ulos, semua punya makna tersendiri.

Secara garis besar, ulos memiliki makna kehidupan dan representasi semesta alam. Ulos juga simbol restu, kasih sayang dan persatuan.

Merunut sejarahnya, ulos secara harfiah berarti selimut. Dulunya nenek moyang suku Batak adalah orang gunung. Mereka menganggap ulos paling nyaman, praktis, dan aman bagi kehidupan sehari-hari, untuk menghangatkan tubuh dan melindungi dari dingin, ketimbang Matahari dan api.

Lambat laun ulos menjadi kebutuhan primer dan semakin penting, terlebih ketika tetua adat menggunakannya pada pertemuan adat resmi. Pun perempuan-perempuan Batak yang bangga menenun, memakai, dan mewariskannya kepada keluarga sebagai suatu pusaka.

Mengingat tingginya nilai ulos bagi kehidupan, dibuatlah aturan adat yang mengawali akar filosofinya. Namanya ritual Mangulosi atau memberikan ulos.

Yakni seseorang hanya boleh ‘mangulosi’ mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada di bawah. Misalnya Natoras tu ianakhon (orang tua kepada anak), tetapi tidak sebaliknya.

Jenis ulos yang diberikan juga harus sesuai dengan ketentuan adat. Kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana, fungsinya tidak bisa bertukar karena tiap ulos bermakna tersendiri.

Misal, jenis ulos Ragidup sebagai simbol kehidupan dan paling tinggi derajatnya ketimbang jenis lain tak bisa sembarangan diberikan selama status orang tersebut belum menikahkan anak, meski ia sedang menghadapi momen penting menjadi mempelai. Sebagai gantinya, mempelai akan diberi ulos Ragihotang yang bermakna doa.

Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang nonBatak. Pun digunakan sebagai jimat (tondi) yang diyakini memiliki kekuatan melindungi raga dari hal jahat lewat sisipan doa.

Penempatan ulos yang digunakan pun bermakna. Yakni menangkal cuaca panas dan dingin, hingga memperlihatkan status.

Budayawan Raya Siregar menjelaskan, ulos ada yang dikalungkan, digunakan sebagai syal, dilingkarkan ke badan, dan posisi lain seperti pengikat kepala. Umumnya, ulos yang diselempangkan itu untuk para raja. Motif ulos bisa berbeda-beda, sesuai kasta dan keturunan. Sementara soal warna, para raja dan ratu biasa menggunakan emas dan merah.

Saat ini, segelintir pemerhati kelestarian ulos telah berinovasi menghidupkan kembali teknik pewarnaan alam yang dikenal dengan istilah harimontong. Seperti warna biru keungu-unguan, dan kulit pohon jabi-jabi (beringin) untuk warna coklat.

Akan tetapi yang perlu diketahui, pada dasarnya warna ulos hanya tiga, dan memiliki makna spiritual bagi Masyarakat Batak.

“Yaitu warna Hitam, Putih dan Merah. Ketiga warna ini merupakan ragi kehidupan. Merah artinya keberanian, hitam artinya kepemimpinan dan putih artinya kesucian,” ujar Monang Naipospos, pegiat budaya Batak dikutip Tribun Medan.

Ia juga meluruskan kesalahan anggapan bahwa ulos memiliki warna yang beragam. “Di luar ketiga warna ini disebut dengan nama sekka-sekka,” tegasnya.

Bagi Anda yang tertarik menjajal ulos Batak bermutu tingi dengan harga miring yang bisa ditawar, cobalah menyambangi Desa Lumban Suhi Suhi.

Desa ini telah dikenal sampai mancanegara sebagai penghasil ulos terbaik. Satu kain tenun ulos dengan benang biasa harganya berkisar antara Rp300-500 ribu. Jika berbenang sutra, bisa mencapai Rp5 juta.

Lokasinya terletak di antara pelabuhan Tomok dan Kota Pangururan. Butuh waktu sekitar 40 menit dari desa Tomok atau 20 menit dari Pangururan mencapai lokasi dengan berkendara.

DetikTravel juga merekomendasi sentra oleh-oleh Pasar Tomok. Khususnya bagi Anda yang mencari ulos Batak sambil menelisik suvenir khas nuansa Batak macam ragam aksesoris dan hiasan dengan gorga (ukiran tradisional Batak) hingga miniatur rumah Bolon (rumah adat Batak Toba).

Lokasinya terletak di Desa Tomok, tak jauh dari pelabuhan dan situs bersejarah makam Raja Sidabutar, yang diyakini sebagai nenek moyang suku Batak.

Ada empat alternatif menuju Samosir. Yang tercepat dari dermaga Ajibata di dekat Kota Parapat. Jaraknya bisa ditempuh sekitar 5 jam berkendara dari Kota Medan, dan 30 menit menggunakan perahu atau kapal fery menuju lokasi.

Untuk bermalam, ada banyak alternatif penginapan terdekat seperti hotel, pondokan dan resor. Bila ingin segera kembali, sebaiknya jangan terlalu sore agar perjalanan tak terhambat.

Oleh : Zoraya Ralie

Sumber: https://beritagar.id/artikel/gaya-hidup/ulos-bukan-sekadar-kain-tenun