Asal Usul Bidang Aktivitas UNESCO
Di dalam buku rujukan tentang sejarah UNESCO, Frederico Mayor, Direktur Jenderal UNESCO pada waktu itu, berpendapat [1]:
Sejarah UNESCO tidaklah terbatas pada sejarah sebuah institusi, melainkan sejarah sebuah era … dan itulah sebabnya … sejarah negara anggotanya … terjalin dengan sejarah organisasi ini.
Dengan kata lain, sejarah UNESCO adalah sebuah sejarah dunia internasional atau dalam peristilahan Mayor sebuah sejarah dunia.
Tentu ada perbedaan antara sejarah dunia internasional dan sejarah dunia. Yang pertama mengacu kepada hubungan internasional atau hubungan antar negara bangsa. Yang kedua mengacu kepada gejala yang melampaui batas-batas negara, kawasan, ataupun kebudayaan, seperti misalnya migrasi massal, perdagangan jarak jauh, pertukaran teknologi lintas budaya, serta persebaran gagasan lintas negara bangsa [2]. Akan tetapi, bila melihat kiprah UNESCO sendiri akan tampak bagaimana kedua definisi ini melebur di dalam persebaran gagasan lintas negara bangsa yang didorong melalui hubungan antar negara bangsa. Oleh karena itu, dalam rangka menelusuri sejarah Republik Indonesia di UNESCO, kita dapat memusatkan perhatian kepada gagasan-gagasan yang disebarkan di dunia internasional itu.
Gagasan utama yang hendak disebarkan oleh UNESCO adalah perdamaian, seperti yang disebutkan dalam Konstitusi UNESCO 1946:
The Governments of the State Parties to this Constitution on behalf of their peoples declare:
That since wars begin in the minds of men, it is in the minds of men that the defences of peace must be constructed;
That ignorance of each other’s ways and lives has been a common cause, throughout the history of mankind, of that suspicion and mistrust between the peoples of the world through which their differences have all too often broken into war;
That the great and terrible war which has now ended was a war made possible by the denial of the democratic principles of the dignity, equality and mutual respect of men, and by the propagation, in their place, through ignorance and prejudice, of the doctrine of the inequality of men and races;
That the wide diffusion of culture, and the education of humanity for justice and liberty and peace are indispensable to the dignity of man and constitute a sacred duty which all the nation must fulfil in a spirit of mutual assistance and concern;
That a peace based exclusively upon the political and economic arrangements of governments would not be a peace which could secure the unanimous, lasting and sincere support of the peoples of the world, and that the peace must therefore be founded, if it is not to fail, upon the intellectual and moral solidarity of mankind.
Dari rumusan ini, kita dapat melihat bahwa gagasan perdamaian ditopang oleh gagasan tentang hubungan antar bangsa; demokrasi yang ditandai prinsip martabat, kesetaraan, dan respek terhadap sesama manusia; kebudayaan dan pendidikan kemanusiaan; serta solidaritas intelektual dan moral. Di sini, kita sudah dapat mengidentifikasi beberapa bidang aktivitas UNESCO, terutama yang terkandung dalam namanya, yaitu pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Pendidikan disebutkan secara eksplisit dalam Konstitusi UNESCO 1946. Kebudayaan pun demikian. Adapun ilmu pengetahuan sesungguhnya terkait dengan solidaritas intelektual dan moral, dan dari kaitan ini kita dapat melihat pentingnya peranan para pakar yang terhimpun dalam pendahulu UNESCO, yaitu Komisi Internasional Kerjasama Intelektual yang bernaung di bawah Liga Bangsa-Bangsa.
Komisi ini didirikan atas dasar keputusan Council Liga Bangsa-Bangsa pada tanggal 14 Januari 1922, bersidang pertama kali tanggal 1 Agustus 1922, dan mengangkat Henri Bergson, filsuf terkemuka Perancis, sebagai pimpinan yang pertama. Berbagai kegiatan persiapan dilakukan, termasuk mendirikan lembaga khusus yang menangani kerjasama ilmu pengetahuan di tingkat internasional, yaitu Institut Kerjasama Intelektual, hingga akhirnya Komisi Internasional Kerjasama Intelektual resmi bekerja pada tanggal 16 Januari 1926. Institut Kerjasama Intelektual bekerja selama 14 tahun hingga pecah Perang Dunia Kedua, terutama di dalam bidang pendidikan; ilmu pengetahuan sosial; ilmu pengetahuan alam; sinema, perpustakaan dan arsip; seni dan sastra, serta properti keilmuan dan hak cipta.
Pendidikan menjadi perhatian sejak awal, terutama karena Perang Dunia Pertama menghancurkan banyak sarana dan prasarana belajar. Hingga tahun 1930, Institut melakukan evaluasi fasilitas yang tersisa, mengkompilasi dan menata dokumentasi bahan ajar, dan membangun kembali hubungan antar bangsa dalam bidang pendidikan. Kemudian, hingga tahun 1936, Institut mempelajari cara meningkatkan akses orang muda terhadap sumberdaya intelektual dan memusatkan perhatian terhadap pendidikan menengah. Setelah tahun 1936, Institut memperhatikan pendidikan bagi orang dewasa, peran radio dan sinema dalam pendidikan di daerah pedesaan, pendidikan kewarganegaraan, serta terutama pendidikan tentang perdamaian.
Sepanjang 14 tahun, dari 1926 hingga 1940, Institut membentuk berbagai pusat dan komite kegiatan pendidikan, serta 14 topik yang kemudian dipergunakan untuk membentuk landasan program UNESCO. Keempatbelas topik tersebut adalah:
- Penyelenggaraan pendidikan tinggi
- Syarat penerimaan pendidikan tinggi
- Penyetaraan jenjang kesarjanaan dan diploma
- Pertukaran antar universitas (profesor, mahasiswa, fellowship)
- Pendidikan vokasi di Eropa
- Pengangguran lulusan universitas
- Sanatorium Internasional Universal (tersedia terutama bagi mahasiswa tubercular)
- Pers mahasiswa
- Penyelenggaraan pendidikan menengah
- Pendidikan bagi orang dewasa
- Perpustakaan publik
- Sinema, radio, dan pers
- Revisi buku teks geografi dan sejarah.
Ilmu Pengetahuan Sosial dan Alam berkembang di dalam kegiatan Institut secara dinamis. Menariknya, Seksi Informasi dan Hubungan Ilmu Pengetahuan semula menggabungkan ilmu pengetahuan sejarah, filologi, dan moral, juga perpustakaan dan kepustakaan, dengan ilmu pengetahuan alam.
Di sub-bidang Ilmu Pengetahuan Sosial, Institut ditugaskan membangun hubungan internasional sehingga menjadi sebuah federasi. Dalam rangka tugas ini, Institut mengadakan Konferensi Internasional Pendidikan Tinggi yang bersidang 12 kali sejak 1928. Pada tahun 1928 pula, Institut menjadi Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai bidang kegiatan utama.
Sementara itu, di bidang Ilmu Pengetahuan Alam, Institut bekerja untuk memberikan dukungan dalam penerbitan keilmuan di negara yang hancur karena perang; melakukan penerjemahan dan penyebarluasan berbagai hasil penelitian ilmiah; menyiapkan bibliografi matematik, biologi, dan fisika; merumuskan standar nomenklatur ilmu pengetahuan; merumuskan format publikasi ilmiah dan melakukan survei sumber dana bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Pada tahun 1931, Institut membentuk Scientific Advisory Committe.
Sinema, perpustakaan dan arsip menjadi bidang perhatian bagi Institut sejak awal pendiriannya. Sinema menjadi program tersendiri, bukan sebagai sarana hiburan melainkan sebagai medium pendidikan di tingkat universitas dan sebagai obyek penelitian ilmiah. Tahun 1926, Institut menyelenggarakan Kongres Sinema yang pertama, dihadiri 432 peserta dari 32 negara dan 12 asosiasi dunia. Kemudian, tahun 1927, Institut Pendidikan Sinematografi Internasional terbentuk di Roma, Italia. Selain itu, Institut juga melakukan berbagai survei tentang perpustakaan, pustakawan, dan pendidikan kepustakaan. Dalam bidang kearsipan, Institut membentuk Committee of Archivist, dengan tugas utama menerbitkan International Guide to Archives.
Seni dan Sastra merupakan bidang kegiatan Institut yang penting lainnya. Selama lima tahun, dari 1926 hingga 1931, Institut melakukan berbagai kegiatan yang mengarah kepada pembentukan Standing Committee on Letters and Arts Liga Bangsa-Bangsa. Komite ini merupakan cikal bakal Sektor Kebudayaan UNESCO dan melakukan delapan pertemuan yang menghasilkan berbagai pernyataan penting. Pertemuan pertama diadakan di Frankfurt (12-14 Maret 1932) dan yang kedua di Madrid (Oktober 1932). Pertemuan di Madrid melahirkan pernyataan “kebudayaan nasional sebuah negara bangsa tidak dapat dirumuskan tanpa memperhatikan keterkaitannya dengan kebudayaan nasional tetangga serta kebudayaan universal;” sebuah prinsip yang hingga kini tetap dijunjung oleh UNESCO. Kemudian, Standing Committee on Letters and Arts melakukan berbagai pertemuan lagi, yang terakhir di Paris (20-23 Juli 1937) yang melahirkan pernyataan “kebutuhan terhadap sastra merupakan kebutuhan dasar masyarakat dan merupakan salah satu bentuk kegiatan manusia yang paling berarti dalam kehidupan sehari-hari karena menumbuhkankembangkan nilai yang memberi arti dan landasan bagi tindakan manusia.”
Institut pun berkecimpung dalam kegiatan lain, termasuk pengkajian hak cipta dan properti keilmuan. Sementara itu, Komisi juga melakukan kegiatan lain, terutama mendorong pembentukan komite kerjasama intelektual di tingkat nasional. Akan tetapi, secara umum dapat dikatakan bahwa kegiatan pendahulu UNESCO terpusat pada pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan. Itulah sebabnya, ketika menteri pendidikan berbagai negara Sekutu bertemu pasca Perang Dunia Kedua untuk membahas pembentukan UNESCO, usulan Amerika Serikat, yang tidak termasuk dalam Komisi Internasional Kerjasama Intelektual, diterima dengan mudah.
[Lanjutkan membaca dengan mengklik tombol navigasi di bawah…]